Menuju Generasi yang Mengutamakan Ilmu: Bukan Gadget

 Oleh: Yuni Astuti
Kasus kekerasan dan penganiayaan terhadap anak semakin sering terjadi. MS siswa kelas satu SD diberitakan tewas karena dikeroyok oleh tiga kawan sekelasnya, di Makassar. Ia meninggal, dua hari setelah mengeluh sakit di perut dan punggungnya.

Sakitnya diduga lantaran hantaman benda keras pada lambung dan ginjalnya. Dalam pemeriksaannya, ada darah yang menggumpal di lambungnya. Orang tua korban belum tahu persis apa motif pengeroyokan yang sampai menewaskan anak sulung dari pasangan Nurdaniah (28) dan Sabrang (25) ini. (m.okezone.com/3 April 2014).

Ketua komnas perlindungan anak, Arist merdeka Sirait menjelaskan, meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak ini disebabkan oleh banyak faktor.

Factor disfungsi keluarga di mana anak menjadi korban, kekerasan dalam rumah tangga, atas nama kedisiplinan, pertengkaran orang tua dan lain-lain.

Psikolog anak, Seto Mulyadi mengungkapkan bahwa tindak kekerasan terhadap anak disebabkan oleh system pendidikan. Pendidikan di sekolah maupun di rumah masih saja menggunakan cara cara kekerasan, mulai dari menjewer anak, memukul dan sebagainya.

Data kekerasan yang masuk ke Komnas PA juga terus meningkat tiap tahunnya. Tahun 2011 yakni 2460 kasus, tahun 2012 menjadi 2620 kasus dan di tahun 2013 terjadi pelaporan 3339 kasus. Tiga bulan di tahun 2014 ini saja sudah 223 kasus. (m.okezone.com/ 3 April 2014).

Tentu ini menjadi keprihatinan kita semua, sebab data-data yang ada tersebut bisa jadi hanya ada di permukaan, selebihnya ada banyak kasus lainnya yang tak terdata. Mulai dari kekerasan seksual, fisik, maupun penelantaran. Padahal, anak adalah tunas bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan.

Peran penting orang dewasa  
Orang tua adalah orang terdekat anak, yang dipercaya dan diharapkan perlindungannya atas diri mereka. Namun adakalanya anak-anak bersikap di luar yang diharapkan orangtua. Perilaku nakal, tidak patuh dan sebagainya dijadikan alasan bagi orangtua untuk menghukum anak dalam bentuk fisik.

Menjewer, mencubit, memukul ringan maupun keras, dengan tangan kosong maupun senjata (ikat pinggang, rotan) itu sudah cukup menjadi pelajaran kekerasan anak untuk kemudian bisa saja dipraktikkan terhadap anak lain. Bisa juga anak yang memendam dendam kepada orangtua, untuk kemudian bisa dilampiaskan berupa kekerasan juga di masa depan terhadap orangtuanya.

Terkait dengan kenakalan anak, ada hubungan tidak langsung dengan orang dewasa lainnya di lngkungan anak. Anak belajar dari telivisi, media cetak, internet dan lain-lain sedangkan di sana banyak informasi yang tidak seharusnya dikonsumsi anak-anak.

Jika ada anak yang ketahuan merokok, orang dewasa sepakat bahwa itu tidak baik. Anak yang senang melihat gambar porno juga melaknat perbuatan sang anak tersebut.

Padahal, kalau saja orang dewasa mau berfikir dan merenung sejenak, apa yang menyebabkan anak-anak itu melakukan perbuatan tidak baik tersebut. Bukankah yang gemar merokok walaupun di tempat umum juga orang dewasa? Yang suka mengadakan acara dangdut dengan aurat biduan yang seronok juga orang dewasa?

Bukankah orang dewasa sendiri yang memamerkan lekuk tubuhnya di depan umum, bahkan di panggung kampanye parpol sekalipun dan anak-anak melihatnya juga?

Jika anak-anak dilarang melakukan aneka kenakalan tersebut, lantas mengapa para orang dewasa dibiarkan merokok, mengonsumsi miras, menggunakan jasa PSK, mencuri bahkan korupsi dan segala macam kenakalan “orang dewasa” lainnya.

Apakah jika kekerasan/kenakalan dilakukan oleh orang dewasa itu tidak mengapa, akan tetapi larangan berbohong kepada anak-anak, meskipun kebohongan itu sekedar untuk mendiamkan sang anak dari tangisnya. Termasuk bohong juga bila orangtua menjanjikan sesuatu kepada anak tetapi tidak ditepatinya.

Islam membolehkan orangtua memukul anak akan tetapi ada syaratnya, yakni anak baru boleh dipukul saat usianya sepuluh tahun jika anak enggan melaksanakan shalat. Pukulannya juga tidak di wajah atau di tempat-tempat yang berbahaya. Tidak boleh memukul dengan keras serta tidak menyakitkan. Selebihnya adalah mengajarkan shalat secara terus menerus tanpa bosan. Maka di sinilah pentingnya mendidik anak shalat sejak dini, tentu saja dimulai dari teladan orangtua.

Setidaknya, anak membutuhkan keteladanan, pembiasaan dan nasihat yang baik dari orangtuanya. Masyarakat juga ikut berperan dalam mengontrol perilaku anak. Terlebih lagi Negara yang sangat besar perannya dalam menjaga akhlak anak-anak bangsa. Misalnya, menghentikan tayangan pornoaksi dan memberangus media pornografi.

Selain itu, menutup pabrik miras dan rokok serta memusnahkan semua tempat lokalisasi agar tidak muncul lagi fenomena “cabe-cabean” yang mengkhawatirkan. Jika kita semua turut ambil peran dalam mendidik anak, kita akan biasa menjadikan mereka anak-anak generasi emas yang akan memimpin dunia di masa depan. Generasi yang mengutamakan ilmu, bukan gadget dan gaya hidup. Anak-anak yang shalih yang punya rasa malu  pada Allah SWT di manapun berada, sehingga akan malu juga untuk bermaksiat. Inilah tanggungjawab kita bersama.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

4 Responses to "Menuju Generasi yang Mengutamakan Ilmu: Bukan Gadget"

  1. wah anda kelupaan tentang "terong terongan" nih....
    Cabe cabean itu fenomena ya ? klo kata kawan ane cabe cabean itu fenomenal lho hahaha....

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah terong-terongan fenomena baru nih buat laki-laki...cabe-cabean ya fenomena tentunya fenomenal tapi negatif tdk utk di tiru. ingat generasi perus.

      Delete
Komentar yang sopan, berikan solusi terbaik anda!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel